Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu Abdullah Bin Nuh (SMP IT ABN) berdomisili di Jalan Taman Cimanggu No. 51 Kelurahan Kedung Waringin Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor Provinsi Jawa Barat Indonesia,SMP IT ABN didirikan pada tahun 2002 oleh Yayasan Islamic Centre Al Ghazaly Bogor beralamat di Jalan Cempaka No. 06 Kotaparis Kota Bogor, dan mulai beroperasi pada tahun pelajaran 2002/2003 dengan sk izin operasional 421.3/68-P DAN P TAHUN 2002 pada tanggal 18 Maret 2002,SMP IT ABN berdiri di atas tanah seluas 4600m2 , dengan luas seluruh bangunan 3.345,40 M2 dan telah memiliki surat izin bangunan 642.2-719 – BPPTPM-V/2013, yang diterbitkan oleh BPPTPM Kota Bogor.
SMP IT ABN ter-Akreditasi dengan nilai 94 peringkat “A” dengan No. SK 02.00/330/SK/BAP-SM/XI/2017 dari Badan AkreditasiNasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M).
JEJAK HISTORI PERJUANGAN K.H.R. ABDULLAH BIN NUH
Perjalanan Bangsa Indonesia dalam memperoleh kemerdekaan bukan saja dipelopori oleh para tentara dan nasionalis semata. Melainkan kaum ulama dan santri turut serta dalam berjuang memerdekakan bangsa ini. Dari sejumlah tokoh atau pelaku sejarah tersebut, di antaranya adalah KH. Abdullah bin Nuh, seorang kiai kharismatik asal Cianjur, pendiri Pesantren al-Ghozali Bogor.
KH. Abdullah bin Nuh dilahirkan di Kampung Bojong Meron, Desa Pamoyanan, Cianjur, Jawa Barat, pada 30 Juni 1905. Beliau wafat pada tanggal 26 Oktober 1987 dalam usia 82 tahun, di kota Bogor, Jawa Barat. Ayahnya bernama K.H. Raden Mohammad Nuh bin Idris dan ibunya Nyi Raden Aisyah bin Raden Sumintapura. Sang ayah dikenal sebagai ulama sepuh yang ada di Cianjur pada masa itu.
Masa kanak-kanak, belajar, dan berkarya
KH. Abdullah bin Nuh pada masa kanak-kanaknya tinggal di kota Mekkah, beliau dibawa bermukim di Makkah selama dua tahun. Di Tanah Suci ini ia tinggal bersama nenek dari KH Mohammad Nuh, bernama Nyi Raden Kalipah Respati. Agaknya masa kecil yang dilaluinya di kota Mekkah menjadi awal keterbukaannya pada dunia Islam. Utamanya dalam penguasaan bahasa Arab yang begitu baik.
Masa mudanya banyak dihabiskan untuk mencari ilmu dari satu tempat ke tempat yang lain. Sepulangnya dari kota Mekkah, KH. Abdullah bin Nuh belajar di Madrasah al-I’anah Cianjur yang didirikan oleh ayahandanya. Di bawah pengasuhan sang ayah, KH. Abdullah kecil ditempa dan diarahkan untuk selalu mengutamakan ajaran Islam. Alhasil, Abdullah kecil menjadi anak yang taat, patuh, dan cerdas. Semangat inilah yang membuatnya begitu mendalami keilmuan Islam, termasuk mengaji Ihya Ulumuddin kepada sang ayah.
Dalam usia delapan tahun, Abdullah bin Nuh sudah cakap berkomunikasi menggunakan bahasa Arab dengan orangtuanya. Bahkan ia sudah mampu menghapal dan menguasai kitab Alfiyah(kitab 1000 bait).
Setamat dari Cianjur, ia meneruskan pendidikannya ke tingkat menengah di Madrasah Syamailul Huda di Pekalongan, Jawa Tengah. Di sinilah beliau ditempa oleh seorang ulama besar Sayyid Muhammad bin Hasyim bin Thohir al-Alawi al-Hadramy. Kecintaan KH Abdullah bin Nuh terhadap keilmuan Islam semakin tumbuh dan berkembang.
Yang paling menarik adalah kemampuan berbahasa Arab yang beliau kuasai begitu memukau dan membuatnya sudah mampu menulis syair dalam bahasa Arab. Bahkan beberapa syair bahasa Arab dan artikel KH. Abdullah bin Nuh dikirim ke majalah berbahasa Arab di Surabaya oleh gurunya.
Sang guru, Sayyid Muhammad bin Hasyim bin Thohir al-Alawi al-Hadramy memutuskan untuk hijrah ke kota Surabya, dan hal tersebut diikuti oleh KH. Abdullah bin Nuh. Di Surabaya ini Sayyid Muhammad bin Hasyim mendirikan Hadramut School, KH. Abdullah bin Nuh pun melanjutkan pendidikannya. Berbagai keilmuan dan keterampilan diajarkan kepada KH. Abdullah bin Nuh. Di antaranya, beliau digembleng cara mengajar, berpidato, berdiskusi, kepemimpinan dan lainnya. Sebab inilah, jiwa kepemimpinan beliau terasah dan semakin baik.
Selepas menimba ilmu dari Sayyid Muhammad bin Hasyim bin Thohir al-Alawi al-Hadramy. Beliau melanjutkan berguru ke Al-Azhar, Kairo, Mesir. Beliau berguru ke beberapa ulama terkemuka saat itu. Setelah dua tahun belajar di Al Azhar, KH. Abdullah bin Nuh berhasil mendapat gelar Syahadatul ‘Alimiyyah yang memberinya hak untuk mengajar ilmu-ilmu Keislaman.
KH. Abdullah bin Nuh rupanya begitu menggandrungi pemikiran-pemikiran Imam al-Ghazali. Beliau terkenal seringkali menerjemahkan kitab-kitab Imam al-Ghazali. Beliau begitu mendalami semua tentang Imam al-Ghazali, tak heran banyak yang menyebut beliau sebagai Imam Ghazali dari Indonesia.
Kecintaan beliau terhadap Imam al-Ghazali bukan tanpa sebab. Sedari kecil beliau sudah dikenalkan dan diajarkan kitab-kitab Hujatul Islam Imam al-Ghazali oleh sang ayah. Salah satu tanda kecintaan beliau pada Imam al-Ghazali adalah dengan mengampu kitab Ihya Ulumuddin kepada para muridnya dan mendirikan sebuah perguruan Islam bernama “Majlis al-Ghazali” yang berlokasi di Kota Bogor.
Semasa hayatnya, beliau sering menulis buku. Karyanya yang terkenal adalah Kamus Indonesia-Arab-Inggris yang disusun bersama Oemar Bakry. Dalam bahasa Arab, Karya beliau antara lain:1. al-Alam al-Islami (Dunia Islam),2. Fi Zilal al- Ka’bah al -Bait a Haram (Di Bawah Lindungan Ka’bah), 3. La Taifiyata fi al-Islam (Tidak Ada Kesukuan Dalam Islam),4. Ana Muslim Sunniyyun Syafi’iyyun (Saya Seorang Islam Sunni Pengikut Syafii),5. Mu’allimu al-’Arabi (Guru Bahasa Arab), 6. dan al- Lu’lu’ al-Mansur (Permata yang bertebaran).
Selain terkenal dengan kealiman dan karyanya yang seabrek, beliau juga merupakan seorang pejuang kemerdekaan yang tangguh. Beliau menjadi angota Pembela Tanah Air atau PETA tahun (1943-1945) di usia 41 tahun untuk wilayah Cianjur, Sukabumi, dan Bogor. Selain itu beliau juga menjadi pemimpin pasukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
KH. Abdullah bin Nuh memangku jabatan sebagai daidancho (1943-1945) untuk batalyon I Jampang Kulon, Keresidenan Bogor. Hal ini menandakan bahwa ulama dan santri memiliki kecintaan kehidupan tidak sebatas dunia. Membela kemerdekaan bagi ulama dan santri merupakan kehormatan yang mulia.
Dalam satu kesempatan KH. Abdullah bin Nuh mengatakan, seperti yang dikutip Syafii Antonio dalam bukunya KH.Abdullah bin Nuh, Ulama Sederhana Kelas Dunia, “Bahwa panji-panji Barisan Sukarela berarti karunia yang besar bagi prajurit-prajurit Barisan Sukarela. Panji-panji tersebut adalah lambang persatuan di antara prajurit, daidancho, dan lambang yang harus kita bela dengan mati-matian.”
Bahkan ada salah satu syair beliau yang cukup membangkitkan semangat rakyat Indonesia untuk melawan penjajah. Sepertinya beliau percaya bahwa kata-kata selalu punya daya kuasa.
Lawanlah Para Penjajah: Semangatku telah membisikan dalam telinga hatiku, lawanlah kaum penjajah yang zhalim# Dengan senjata dan ilmu seperti yang telah dicapai oleh Barat, maka mereka menjadi pemenang. Saya berkata, “Sabarlah”. Bunga mawar diriku sebagai penebus, sesungguhnya dalam keasingan ada sesuatu yang tidak mudah# Maka dia menjawab, Saya tidak mempunyai jiwa selain engkau, dan menangis karena sedih dengan air mata mengalir.”
Kendati dalam masa peperangan, KH. Abdullah bin Nuh tetap seorang muslim dan ulama yang sadar betul kewajibannya untuk mendakwahkan ajaran Islam kepada murid dan masyarakat. Sebab itulah, dalam keadaan genting sekalipun beliau tidak pernah meninggalkan kegiataan mengajar. Sudah menjadi prinsip hidup KH. Abdullah bin Nuh, bahwa mengajar adalah salah satu jalan untuk beribadah dan mendekat kepada Allah Swt.
Dari titik inilah, kita dapat melihat bahwa kealiman seorang ulama akan selalu sejalan dengan kecintaan besar beliau terhadap bangsa dan tanah airnya. KH. Abdullah bin Nuh telah memberikan teladan yang begitu luar biasa, bahwa ulama bukan saja peduli terhadap santri, pesantren, dan kitab-kitabnya. Tetapi juga begitu peduli terhadap kemerdekaan bangsanya.
”Anda saudaraku, karena kita sama-sama menyembah Tuhan yang satu. Mengikuti Rasul yang satu. Menghadap kiblat yang satu. Dan terkadang kita berkumpul di sebuah padang luas, yaitu Padang Arafah. Kita sama-sama lahir dari hidayah Allah. Menyusu serta menyerap syariat Nabi Muhammad Saw. Kita sama-sama bernaung di bawah langit kemanusian yang sempurna. Dan sama-sama berpijak pada bumi kepahlawanan yang utama”. Itulah salah satu syair beliau yang menggambarkan bahwa persaudaraan adalah keniscayaan.
Itulah KH. Abdullah bin Nuh, seorang yang telah mengabdikan hidupnya untuk keilmuan dan keislaman dengan karya yang bisa dinikmati oleh generasi Islam sekarang ini. Beliau mewariskan kecintaan juga perpustakaan kearifan yang sarat pengetahuan.
Referensi:
Muhammad Syafii Antonio, KH.Abdullah bin Nuh, Ulama Sederhana kelas Dunia